REFLEKSI #MenolakLupa


Munir Said Thalib dibunuh pada 7 September 2004. Makanan dan minuman yang telah dibubuhi arsenic dihidangkan kepadanya dalam penerbangan Garuda dari Jakarta ke Singapura. Dia meninggal dalam penerbangan menuju Belanda, tempat dia akan mengikuti kuliah untuk program Ph. D. Empat tahun setelah Suharto lengser, Munir berkata dia perlu belajar lebih banyak tentang Negara-negara Amerika Latin yang telah sukses melakukan transformasi dari kediktatoran ke demokrasi.

Munir terkenal sebagai pemimpin Kontras. Bermula dari Komite Independen Pelanggaran HAM atau KIPHAM, Kontras didirikan Mei 1997 menyusul penyerbuan terhadap para aktivis reformasi di markas PDI Juli tahun sebelumnya. Dalam konteks penumpasan gaya orde baru terhadap segala bentuk aksi protes, KIPHAM merupakan organisasi low profile yang mendidik masyarakat mengenai hak asasi manusia dan peran militer dalam penindasan.
Pada Januari 1998, militer mulai melakukan operasi penculikan para aktivis demokrasi, dan KIPHAM membidani lahirnya Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, yang kemudian dikenal begitu saja sebagai Kontras. Kontras bergabung dengan LBH, dan LSM-LSM reformasi lainnya-ELSAM, AJI, PIPHAM, KIPP, PMII- dalam suatu kampanye yang high-profile untuk menginformasikan kepada publik penculikan para aktivis demokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia oleh militer. Munir bekerja tanpa kenal lelah untuk memperjuangkan reformasi yang bisa membuat militer berada di bawah kendali sipil, untuk hak-hak petani dan buruh, serta untuk perubahan secara damai melalui pendidikan.

Sebagai balasannya kantor Kontras diserang. Munir dituduh sebagai komunis dan mengkhianati negaranya, sementara keluarganya diancam. (1)

Munir, menjadi sosok pejuang nilai yang tentu menginspirasi kita. Coba kita tengok, sejak dulu mereka yang teguh digaris depan melawan tirani, memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, selalu punya riwayat diasingkan, dipenjara, disiksa bahkan dibunuh. Tapi semangat perjuangan mereka tak sedikitpun pudar, bahkan setiap masa semangat mereka tetap hidup di dalam jasad-jasad yang lain. Aktivis itu sangat tidak logis, begitulah pandangan kebanyakan orang yang hanya ingin berada dalam comfort zone yang akan berpikir demikian piciknya. Bagaimana tidak, aktivis, kenapa sampai rela mengorbankan hidupnya untuk membela orang lain, membela bangsa dan Negara, membela keyakinannya.

Mereka yang merelakan kehidupannya demi kepentingan orang lain adalah sebenar-benarnya pahlawan. Berjuang bahkan dalam kesenyapan, sendiri, jauh dibalik kegemerlapan popularitas. Maka yang menjadi pertanyaannya, aku, kamu, kita yang mengaku ‘aktivis’ sudah sejauh mana kebermanfaatan kita? Atau ternyata gelar ‘aktivis’ hanya sebuah title abal-abal yang begitu membanggakan hingga terbuai dalam ilusi populis?
Aah, siapalah aku, tak pantas membuat penilaian apapun. Karena manusia hanya berhak pada hal pengharapan bukan penilaian. Berharap kondisi sesuai dengan apa yang kita harapkan tentu saja. Apapun jalan perjuangan yang kita pilih, ingatlah, perjuangan melawan kebathilan adalah sebuah keniscayaan yang akan terus bergulir di masa manapun. Dengan cara apapun yang kita sebut ini semua sebagai values force. Setiap masa akan memunculkan pahlawannya sendiri. Dan semoga aku, kamu, kita, menjadi bagian dari mereka ‘pejuang peradaban’.


Referensi:
1. Cuplikan Ucapan Terimakasih dari Elizabeth Fuller Collins dalam Buku Indonesia Dikhianati, Jakarta:2008.



.Ruang berkarya.
MLG.
00.25

Komentar

Postingan Populer