ENIGMA
Pada dasarnya semesta ini adalah kumpulan dari misteri, dengan banyak Keagungan. Layaknya sebuah jalan, ketika berada di persimpangan tiga, yakinkah bahwa jalan itu akan berhenti disana.
Coba kita tengok semesta raya, yang samudra dan langitnya tak bertepi. Seperti itulah kemungkinan menjadi satu titik temu yang tak pernah kita ketahui.
Enam tahun yang lalu kita mengenal semuanya dengan jalan yang berbeda. Sebuah persimpangan yang tak hanya satu, bisa tiga, bisa lima, bisa tujuh. Berapapun persimpangan itu adalah sebuah kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Lantas pada saat yang bersamaan kekuatan diluar kita lah yang telah membuat kita memilih disini. Bagaimanapun namanya, sebuah kemungkinan selalu punya cabang. Kembali ke titik waktu, saat kita menyadari bahwa ini adalah jalan, entah kita maknai sebagai jalan pembelajaran atau jalan perjuangan. Nanti kita akan tau di titik persimpangan yang lain. Sampai pada titik ini aku menyadari sama seperti yang pernah disampaikan Dee dalam sebuah prosanya 'semesta ini dinamis, dan semua bisa berubah'.
Coba kita simak sebuah dongeng 'Si Hamba Kurang Ajar' dalam karya A.Mukhlis, mencoba membuat kita berfikir, seberapa besar misteri dan Keagungan akan bertabrakan dengan keyakinan.
Alkisah seorang kusut-masai berjalan dengan celotehan panjang tentang Tuhan setiap kali bertemu orang-orang. Alis tebalnya menyatu, dahi lusuhnya berkerut, bibir hitamnya mencibir saat tiba waktunya membicarakan Tuhan dan sifat-Nya. Tidak segan ia memaki, melaknat, menumpahkan kekesalannya pada Sang Pemilik alam semsta. Baginya, Dia tidak ada. Dia hanya teori, risalah fiksi, isapan-jempol-telunjuk-kelingking-jari-jari. Setiap kali ada yang membantah pendapat-pendapatnya, mata orang berbaju kumal dan tengik itu melotot, rahangnya bergemeretak, lalu tercetuslah kata-katnya yang diingat dan diresapi orang-orang yang jua bernasib sama dengan dirinya.
“Kalau begitu, kenapa Dia tidak menolongku? Aku dulu percaya pada-Nya, akan tetapi ketika aku ditimpa kesulitan, terpuruk dalam kebangkrutan jiwa, berkalang kedukaan, Dia tidak melakukan apa-apa! Padahal aku menunggu dirinya menyelamatkanku dari kehancuran. Kalau Dia hanya membiarkan masalahku, jika Dia lebih suka melihatku hancur, itu artinya Dia tidak peduli. Atau, bisa jadi dia memang tidak pernah ada!? Dia tidak ada. Tuhan yang kalian sembah sehari-hari itu tidak ada. Alangkah bodoh dan sesatnya kalian. Bangunlah dari kesalahan!”
Kian hari, semakin banyak orang terkesima dengan kata-katanya. Lelaki kumal-kotor-orator itu berbangga diri, mengembangkan keimanan barunya: Tuhan itu tidak ada. Dia mulai berteriak-teriak lebih lantang dari sebelumnya, terus berjalan, pindah dari satu negri ke negri lain, menyapa rumah-rumah dan pasar-pasar, bertemu tua-muda, lelaki-wanita, menyampaikan isi hatinya, menyebarkan pahamnya ke seluruh daerah yang bisa ia jelajah. Pengikutnya meningkat. Popularitasnya melesat.
Sampai suatu hari, ia bertemu seorang bocah pelajar yang pulang dari sekolah. Memegang kitab suci, berwajah seperti tidak pernah mengenal peri-getir kehidupan. Lelaki pengingkar Tuhan mendatanginya dengan dada penuh bincahan dan muntahan pendapat. Melihat anak muda ingusan itu mendekap kitab suci membakar jiwanya. Panas. Dia tidak bisa tinggal diam.
“Hei,” lelaki kumal itu memanggil, “apa yang kau pegang erat-erat itu?”
Sang bocah menoleh, menatap lawan bicaranya sepenuh pandangan. Sejenak ia beralih melihat buku tebalnya, lalu kembali menegakkan wajah menghadap orang asing di depannya.
“Ini kitab suci.”
“Aku tahu itu kitab, tapi suci atau tidak, itu perlu dipertanyakan.”
“Kitab ini suci karena Tuhan yang merangkai tiap katanya. Itu cukup membuatnya layak menyandang gelar ‘suci’ sehabis jati dirinya.”
“Bagaimana ia bisa suci sedang ia dibuat oleh sesuatu yang tidak ada?”
“Kitab pasti ada pembuatnya. Entah itu Tuhan atau manusia.”
“Tidak semua manusia itu suci!”
“Aku tidak pernah mengatakan kitab ini manusialah pengarangnya.”
“Tuhan itu tidak ada.”
“Tidak semua manusia memercayai hal itu.”
“Kau percaya?”
Bocah itu mengangguk. “Tuhan itu ada.”
Lelaki kumal tertawa, bahak-bahaknya mengisi atmosfer senja.
“Aku tidak percaya Tuhan itu ada!”
“Kenapa?”
“Akan ku ceritakan kenapa! Kau tahu? Tuhan itu tidak membantuku menyelesaikan pahitnya hidup. Bertahun-tahun yang lalu, hidupku sangatlah makmur. Aku bahagia. Aku punya segala yang ku idamkan di atas dunia. Namun, suatu hari banjir besar melahap seluruh milikku. Aku terlunta-lunta. Aku tidak punya rumah, hartaku habis, keluargaku terseret arus dan mati. Berhari setelah itu, aku terus menuggu Tuhan bertindak. Tapi, apa yang aku dapatkan?! Dia diam. Dia diam! Aku tidak dibantunya! Aku menderita dan Dia tidak mau mengubahnya. Dia diam, tidak melakukan apa-apa. Sejak itu, aku curiga pada-Nya. Jangan-jangan Dia itu tidak ada. Bukankah diam bisa berarti tidak ada?”
Bocah berkulit coklat itu terus menatap si lelaki kumal. Matanya tidak berkedip. Mulutnya terkatup rapat.
“Bagaimana menurutmu, bocah? Masih percaya Tuhan itu ada?”
Bocah itu mengangguk. “Tentu saja.”
Lelaki kumal itupun naik pitam, tinggi sontak suaranya.
“Tuhan itu tidak ada!”
“Tuhan itu ada.”
“ APA BUKTINYA?”
“Apa buktinya Tuhan itu tidak ada?”
“Jangan berputar-putar! Aku telah utarakan bukti nyata ketiadaan-Nya!”
“Diam memang bisa berarti tidak ada. Tapi, apa yang kau alami adalah sesuatu yang harus kau renungi, bukan kau maki dan kau caci.”
“Apa maksudmu?”
“Kita tidak menentukan Tuhan ada atau tidak dari apa yang kita terima dalam hidup. Kita menentukannya dari kenyataan bahwa kita hidup dan banyaknya fasilitas yang menunjang hidup. Perhatikanlah langit dan pernahkah kau bertanya kenapa ia tidak jatuh walau tidak ada sebatang tiang pun menyangganya? Perhatikanlah matahari dan pernahkah kau bertanya siapa yang menerbitkan dan menenggelamkannya? Perhatikanlah bintang dan pernahkah kau bertanya siapa yang membuatnya bersinar demikian jernihnya? Siapa yang memberi kita udara? Siapa yang memberi kita mata, hidung, mulut, tangan , perut, dan kaki? Sifat kita sebagai makhluk tidak memungkinkan itu semua terjadi tanpa kehendak. Soal hidupmu, itu benar-benar salahmu. Tuhan tidak pernah salah. Dia ada dan kau tidak memercayai-Nya. Salahkah bila Dia tidak mau membantumu?”
“Dia diam! Apa bisa itu disebut Tuhan?”
“Tahu darimana kau Dia diam?”
“Dia tidak membantuku! Dia diam!”
“Apakah kalau aku diam, aku berarti tidak ada? Apakah kalau kau diam saat aku bicara itu berarti kau tidak ada?”
Bibir lelaki kumal itu terkatup. Tangannya mengepal, napasnya tidak teratur.
“Wahai orang yang sesumbar menilai Tuhan, dengarkanah perkataanku baik-baik! Ketahuilah bahwa Tuhan itu Maha Perkasa. Dia dibutuhkan, bukan membutuhkan. Cobalah pakai logikamu: apakah jika seluruh lelaki dan waanita di kota ini berambut panjang hingga ke tanah, apakah berarti tukang cukur tidak ada!? Tentu saja tidak! Merekalah yang membiarkan rambut itu memanjang. Tukang cukur ada setiap waktu, menunggu kita mendekat, memintanya mencukur rambut kita, maka ia pun memulai pekerjaannya. Jika kau adalah makhluk, dan kebutuhanmu kian menguatkan kenyataan bahwa kau memang cuma makhluk, mintalah pada Ia yang tidak membutuhkan sesuatu dan selalu memenuhi kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Haruskah Tuhan yang mendatangimu ketika kau punya masalah? Di mana kesadaranmu sebagai orang yang membutuhkan? Siapa yang membutuhkan? Siapa yang dibutuhkan? Jika kau tidak mengerti jawaban-jawaban dari pertanyaan tadi, jangan kau berani menilai Tuhan itu seperti apa. Kau tidak pantas karena kau bodoh. Kebodohan tidak berjodoh dengan keagungan Tuhan. Tuhan itu Mahapintar dan engkau adalah kemahabodohan terpelik yang pernah aku lihat.”
Bocah itu berbalik dan meneruskan perjalanannya kembali ke rumah. Lelaki kumal itu menatap punggungnya yang menjauh, semakin, dan semakin. Bayanganya hilang ditelan jarak, jingga sore, dan raja siang yang jelang berlabuh di barat. Susah bukan main ia menelan ludahnya sendiri. Sulit bukan main ia menyimak detak jantungnya sendiri. Paru-parunya melesak, seiring pelipisnya yang menyentak-nyentak.
Tiba-tiba kakinya kehilangan tenaga untuk berdiri. Dia terduduk di atas tanah, sangat lemah. Terngiang kembali apa yang dulu pernah ia dengar dari orangtuanya. Semasa kecil. Semasa masih kerap membaca kalimat-kalimat dalam kitab suci.
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)…” (Q.S. An-Naml [27]: 62-63)
Lelaki kumal mencoba mereka ulang kembali ingatannya. Ya, dia sepertinya lupa berdoa. Saat masalah datang, ia menunggu, bukan memohon. Memaki, bukan meminta. (end)
Sejauh yang aku pahami, teka-teki semesta selalu ada jawabannya, meskipun semua jawab tak akan selalu kita temukan. Dan kita manusia makhluk paling skeptis. Yang selalu punya banyak tanya. Maka, cukuplah iman menjadi jawaban, penguat dan pengokoh kita. Biarlah semua tetap menjadi teka-teki yang membuat kita semakin yakin pada Keagungan-Nya. Dan tentu saja biarlah doa menjadi bahasa hati yang menghubungkan langit dan bumi.
.ruang berkarya~
00.00
Komentar
Posting Komentar