BAMBOO CONSERVATION AREA




Bersahabatlah dengan alam.. .
maka alam akan bersahabat denganmu. . .
^^


Penerapan REDD (Reducing Emissions for Deforesting and Forest Degradation) di Indonesia
            Kebijakan perubahan iklim global mengidentifikasikan bahwa deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu sumber utama gas rumah kaca. Emisi karbon dari perubahan tata guna lahan diperkirakan sebesar seperlima dari total emisi global dunia saat ini. Oleh karena banyak pihak yang menganggap bahwa dengan menjaga tutupan hutan yang masih ada adalah suatu pilihan untuk mitigasi perubahan iklim. Anggapan tersebut melahirkan suatu skema mitigasi perubahan iklim yang menjadikan sektor kehutanan sebagai pemain utama dengan lahirnya skema REDD (Reducing Emission from deforestation and Forest Degradation). Saat ini REDD dianggap sebagai komponen penting untuk perlindungan global terhadap perubahan iklim yang nantinya pada tahun 2012 akan menggantikan Protokol Kyoto.
            Indonesia sendiri merupakan Negara dengan luasan hutan tropis yang sangat besar. Ditengah ramainya perhatian dunia terhadap isu perubahan iklim, rupanya juga memberikan dampak yang besar terhadap rencana dan arahan pemanfaatan hutan di Indonesia. Kalau dulu kita mengenal fungsi hutan dominan sebagai penghasil kayu, tidak demikian halnya yang terjadi pada akhir-akhir ini dengan adanya inisiatif REDD. Hutan saat ini dipandang jauh lebih dari sekedar penghasil kayu, saat ini hutan dipandang sebagai penyelamat ekosistem bumi karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon.   
REDD adalah skema untuk memberikan insentif bagi negara-negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dengan menekan tingkat kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Insentif ini dapat mendorong pengelolaan hutan yang lebih lestari dengan menyediakan aliran pendapatan yang berkelanjutan. Pengurangan emisi atau ‘deforestasi yang dihindari’ dapat diperhitungkan sebagai kredit karbon. Kredit tersebut  selanjutnya dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melindungi hutannya.
REDD masuk ke dalam agenda global karena deforestasi dan degradasi hutan, khususnya dihutan tropis diyakini menyumbang antara 18 sampai dengan 20% dari seluruh emisi gas CO2 global pertahun, yang mana jumlah ini lebih besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor transportasi secara global. Hal ini terjadi ketika hutan ditebang atau digunduli, biomassa yang tersimpan didalam pohon akan membusuk atau terurai dan menghasilkan gas karbon dioksida (CO2), sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang memerangkap panas yang dipancarkan permukaaan bumi. Selain itu, beberapa kawasan hutan melindungi sejumlah besar karbon yang tersimpan dibawah tanah.
            Ketika pohon-pohon dihutan habis bumi kehilangan sumberdayanya yang sangat berharga yang seharusnya secara terus-menerus menyerap CO2 yang ada di atmosfer. Hasil riset terbaru menunjukan bahwa dari 32 milyar ton CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia pertahunnya kurang dari 5 milyar ton diserap oleh hutan.
            Agenda untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan semakin mengemuka ketika diterbitkannya “Stern Review on Climate Change” oleh pemerintah Inggris pada awal 2007. Mantan ekonom Bank Dunia Sir Nicholas Stern menyarankan langkah pencegahan deforestasi harus dimasukan kedalam komitmen pasca 2012 disaat berakhirnya Protokol Kyoto. Laporan Stern mengusulkan bahwa suatu tindakan penting yang seharusnya diambil oleh komunitas internasional untuk memperlambat perubahan iklim adalah mengatasi “emisi non-energi” dengan cara memberikan imbalan atau kompensasi kepada Negara-negara berkembang untuk mengurangi deforestasi.
            Semakin sadarnya komunitas dunia akan hal tersebut diatas maka pada COP-13 di Bali tahun 2007 dihasilkan Bali Action Plan yang merupakan rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung didalam REDD. Beberapa tahun sebelum COP-13, pada bulan Desember 2005, Koalisi Bangsa-bangsa Hutan Tropis (Coalition of Rainforest Nations) yang dipimpin oleh Kosta Rika dan Papua New Guinea menyampaikan usulan resmi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (greenhouse glases) dari deforestasi dan degradasi hutan. Usulan ini disampaikan pada saat pelaksanaan COP-11 di Montreal, Kanada.
            Dalam perjalanannya REDD mengalami beberapa transformasi istilah. Pada saat awal inisiatif ini mengemuka istilah yang digunakan adalah AD (Avoided Deforestation). Kemudian istilah ini berubah menjadi RED (Reducing Emission from Deforestation) sebelum akhirnya istilah yang paling umum digunakan adalah REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Perubahan istilah dari RED menjadi REDD dikarenakan oleh beberapa pihak berpendapat bahwa pendekatan ekosistem dan bentang alam yang sejati untuk menghindari deforestasi harus mencakup baik itu hutan alam (belum ditebang) maupun hutan yang telah rusak. Pada intinya semua istilah yang digunakan mengacu kepada satu tujuan yang sama yaitu untuk menekan laju emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan.
            Setelah COP-14 di Poznan Polandia, dihasilkan suatu konsensus agar kegiatan REDD sebaiknya diperluas. Pendekatan ini disebut dengan REDD+. Dalam mekanisme ini transfer financial dibawah REDD+ tidak hanya digunakan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Transfer financial juga akan digunakan untuk melakukan konservasi cadangan karbon di hutan, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi.
            Implementasi inisiatif REDD di Indonesia dimulai dengan pembentukan IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) pada tahun 2007. IFCA merupakan suatu kelompok kerja yang terdiri dari ahli dari kementerian kehutanan, akademisi baik nasional dan internasional serta perwakilan dari masyarakat sipil. IFCA kemudian merumuskan perlunya kerangka kerja kebijakan yang berkaitan dengan penentuan tingkat emisi yang dijadikan acuan, strategi untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, proses monitoring, mekanisme keuangan, dan distribusi keuntungan serta tanggung jawab.
            Selanjutnya untuk melakukan implementasi REDD secara penuh pada tahun 2012, berdasarkan rekomendasi yang dihasilkan IFCA pemerintah Indonesia mulai melakukan serangkaian kegiatan. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan mangusulkan rancangan persiapan (Readiness plan, R-Plan) kepada Bank Dunia untuk menunjang pembiayaan demonstration activities. Selain komponen-komponen yang dihasilkan oleh IFCA diatas, didalam R-Plan juga diuraikan rencana penilaian dampak REDD terhadap kondisi social lingkungan serta investasi untuk pengembangan kapasitas.
            Selain mengajukan proposal readiness kepada Bank Dunia, pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang sama kepada UN-REDD. Badan ini merupakan kolaborasi badan-badan PBB yang terdiri dari FAO, UNEP dan UNDP. Sementara itu pemangku kepentingan diluar pemerintah juga mencoba untuk membangun demonstration activities yang merupakan kerjasama antara NGO internasional, lembaga donor luar negeri dan pemerintah daerah.
Walaupun sebenarnya banyak dari pemerintah daerah yang terlibat dengan proses ini tidak sepenuhnya paham dengan skema dan inisiatif REDD yang ada.
            Untuk lebih memperkuat implemetasi REDD pada tingkat nasional dan sub-nasional (daerah), pemerintah Indonesia mungkin bisa dikatakan lebih maju bila dibandingkan dengan Negara-negara penggagas REDD lainnya di dunia. Hal ini bisa dilihat bahwa hingga saat ini pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan tiga peraturan yang berkaitan langsung dengan REDD. Peraturan pertama yang dikeluarkan adalah Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Permenhut ini pada dasarnya mengatur prosedur permohonan dan pengesahan demonstration activities REDD, sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaan REDD dapat dicoba dan dievaluasi.
            Peraturan kedua adalah Permenhut No. P. 30/Menhut-II/ 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Permenhut ini mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi, verifikasi dan sertifikasi,serta hak dan kewajiban pelaku REDD. Peraturan ketiga adalah Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, permenhut ini mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon, didalamnya juga diatur perimbangan keungan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan Negara dari REDD.
            Demonstration activities REDD dianggap sebagai sarana pembelajaran bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan implementasi REDD nantinya pada tahun 2012. Oleh karena itu dalam fase persiapan (readiness) antara tahun 2009-2012 maka diharapkan dapat dilakukan demonstration activities yang merupakan sarana pembelajaran proses REDD sebelum nantinya dilakukan implementasi penuh pada 2012. Saat ini Kementerian Kehutanan telah melakukan beberapa kerjasama dengan pihak luar untuk pembentukan demonstration activities REDD dibeberapa daerah.
            Diantara demonstration activities yang sudah dilakukan seperti kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia di Kalimantan Tengah (Kalimantan Forest Carbon Partnership), kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jerman di Kalimatan Timur (Forest and Climate Change Programme / FORCLIME), kerjasama pemerintah Indonesia dengan ITTO di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, kerjasama pemerintah Indonesia dengan TNC di Berau Kalimantan Timur untuk mendukung fase readiness di tingkat kabupaten. Demonstration activities yang paling baru adalah tercapainya kesepakatan antara Kementerian Kehutanan dengan UN-REDD untuk pendanaan sebesar 5.6 juta US Dolar untuk implementasi di Sulawesi.
1.      3.2. Bamboo Conservation Area sebuah upaya pengurangan emisi karbon di Indonesia
Penyebab terbesar terjadinya pemanasan global yaitu gas Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), dan Chlorofluorocarbon (CFC). Hutan yang diharapkan menjadi tempat penimbunan gas CO2 telah rusak. Bahkan rusaknya hutan ini menambah jumlah CO2 di udara. Pohon-pohon yang telah mati akan menghasilkan gas CO2 dan melepasnya ke atmosfer. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah menghilangkan Karbon Dioksida di udara yang dapat menumpuk di lapisan atmosfer. Untuk menghilangkan gas Karbon Dioksida di udara dilakukan penghijauan yaitu memperbanyak menanam pohon sehingga gas-gas CO2 dari berbagai sumbernya dapat diserap dan tidak sampai ke atmosfer. Gas-gas CO2 tersebut diserap dalam proses fotosintesis yang dilakukan oleh tanaman hijau tersebut.
Berkaitan dengan upaya penghijauan maka tanaman hijau yang sebaiknya ditanam adalah tanaman bambu, bukan tanaman kayu-kayuan ataupun buah-buahan. Alasan ini berdasarkan pada prediksi seorang ahli iklim NASA bernama dr. H. J. Zwally yang mengatakan bahwa hampir semua es di kutub utara akan lenyap pada akhir musim panas 2012 akibat pemanasan global. Tanaman bambu dapat tumbuh dengan cepat yang hanya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun saja, dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan yang memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai usia dewasa. Selain itu, dalam hal penyerapan Karbon Dioksida, bambu lebih banyak menyerap Karbon Dioksida dari pada tanaman kayu-kayuan ataupun buah-buahan. Studi menunjukkan bahwa satu hektar tanaman bambu dapat menyerap lebih dari 12 ton karbon dioksida di udara. Ini merupakan jumlah yang cukup besar. Dalam hal ini, Bambu menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen 30% lebih banyak ke atmosfer dibandingkan dengan pohon-pohon pada umumnya. Hal ini membuat bambu sangat baik untuk menyerap gas rumah kaca dan memproduksi lebih banyak oksigen bersih dan segar.
Selain itu terdapat pula kelebihan lain yang dimiliki oleh tanaman bambu tersebut, yaitu:
1.  Bambu adalah Penyerap Karbon yang Baik
  Bambu menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen 30% lebih banyak ke atmosfer dibandingkan dengan pohon-pohon pada umumnya. Hal ini membuat bambu sangat baik untuk menyerap gas rumah kaca dan memproduksi lebih banyak oksigen bersih dan segar.
2.  Regenerasi Bambu yang Cepat Rumpun Bambu:
   Ketika bambu dipanen, maka akan terus tumbuh tunas-tunas baru dari sistem perakarannya yang menakjubkan. Bambu tidak memerlukan bahan kimia, pestisida atau pupuk untuk tumbuh dan berkembang. Daun-daun yang terjatuh memberikan nutrisi yang diperlukan agar bisa didaur ulang kembali ke dalam tanah. Setiap bagian dari tanaman dapat dimanfaatkan dalam banyak cara dengan limbah yang tergolong sedikit. Setelah material dari bambu mencapai batas ketahanannya, limbahnya dapat didaur ulang kembali ke dalam tanah.
3.  Bambu Mencegah Terjadinya Erosi (Lahan Miring Bambu):
            Setelah hutan kayu keras habis ditebangi, humus di bagian tanah atas akan mudah terkikis dan akhirnya ikut hanyut terbawa aliran sungai yang sangat membahayakan satwa-satwa liar. Namun hal ini tidak berlaku bagi bambu, karena sistem perakaran bambu akan terus tumbuh bahkan setelah pemanenan. Tunas baru akan muncul dan akar bambu masih mampu menjaga kestabilan tanah dan mempertahankan nutrisi yang ada.
4.  Bambu Dapat Tumbuh Dalam Berbagai Kondisi (Bambu saat Musim Salju):
Bambu memiliki daya tahan yang kuat dan dapat tumbuh di segala macam kondisi iklim dan jenis tanah dimana tanaman lain gagal tumbuh, bahkan saat musim salju.
Kemudian setelah diketahui beberapa kelebihan yang dimiliki oleh tanaman bambu dalam hal penyerapan emisi karbon maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah pembentukan BCA (Bamboo Conservation Area). Terdapat beberapa tahap yang akan dilakukan dalam pembentukan BCA (Bamboo Conservation Area) tersebut, antara lain adalah:
1. Pemilihan Area dan Penanaman Tanaman Bambu
Meskipun tanaman bambu terkenal memiliki daya tahan yang kuat dan dapat tumbuh di segala macam kondisi iklim dan jenis tanah dimana tanaman lain gagal tumbuh, namun pertumbuhan bambu tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungannya. Dengan demikian perlu diketahui faktor-faktor yang berkaitan dengan syarat tumbuh tanaman bambu. Tanaman ini akan tumbuh dengan baik di tempat yang sesuai untuk pertumbuhannya. Menurut Berlian dan Estu Rahayu (1995) faktor lingkungan tersebut meliputi kondisi iklim dan jenis tanah.
a.   Iklim
Lingkungan  yang  sesuai  untuk  tanaman  bambu  adalah  yang  bersuhu sekitar 8,8-360C. Suhu lingkungan ini juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Semakin tinggi suatu   tempat, semakin rendah suhunya. Tanaman bambu bisa dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 0 sampai 2.000 m dpl. Walaupun demikian tidak semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik pada semua ketinggian tempat. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimum 1.020 mm per tahun. Kelembaban udara yang dikehendaki minimum 80%.
b.   Tanah
Bambu  dapat  tumbuh  di  berbagai  jenis  tanah,  mulai  dari  tanah  berat sampai ringan, tanah kering sampai becek, dan dari tanah subur sampai kurang subur. Juga dari tanah pegunungan yang berbukit terjal sampai tanah yang landai. Perbedaan  jenis  tanah  dapat  berpengaruh  terhadap  kemampuan  perebungan bambu. Tanaman bambu dapat tumbuh pada tanah yang bereaksi masam pada pH 3,5 dan umumnya menghendaki tanah yang pH-nya 5,0 sampai 6,5. Pada tanah yang subur tanaman bambu akan tumbuh baik karena kebutuhan makanan bagi tanaman tersebut akan terpenuhi.
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka tanaman bambu akan dapat dimulai untuk ditanam, sehingga terbentuklah sebuah hutan bambu yang akan menjadi sebuah BCA (Bamboo Conservation Area). Namun tidak hanya berhenti sampai pada tahap ini saja, melainkan juga perlu adanya konservasi dan pengolahan hutan bambu yang berkelanjutan sehingga manfaatnya mampu dirasakan sampai masa yang akan datang.

2.      Konservasi dan Pengolahan BCA (Bamboo Conservation Area).
            Sebuah program kebijakan akan mampu dirasakan manfaatnya jika program tersebut menggunakan teori sustainable development dalam pembentukannya. Begitu pula dalam pembentukan program BCA (Bamboo Conservation Area) ini, juga diperlukan adanya konservasi dan pengolahan secara kontinyu sesuai dengan teori sustainable development dalam penerapan kebijakan publik. Dalam melaksanakan konservasi dan pengolahan BCA (Bamboo Conservation Area) tersebut dilakukan dengan cara menggunakan Sistem Tebang Pilih dalam pemanfaatannya. Sistem tebang  pilih  merupakan metode penebangan berdasarkan umur bambu. Metode ini sangat efektif karena akan didapatkan mutu bambu sesuai  dengan  yang  diinginkan  dan kelangsungan pertumbuhan  bambu akan tetap  berjalan.
            Selanjutnya, karena regenerasi bambu yang tergolong cepat, dimana ketika bambu ditebang maka akan segera muncul kembali tunas baru dari perakarannya, maka hal tersebut sangat mendukung adanya keberlanjutan tanaman tersebut dalam upayanya menyerap emisi karbon. Selain itu didukung pula dengan kelebihan tanaman bambu yang merupakan tanaman yang pertumbuhannya cepat yaitu mampu tumbuh antara 30-90 cm per harinya. Sehingga jika bambu yang telah cukup umur ditebang maka tunas yang muncul dari perakarannya akan segera tumbuh besar kembali, sehingga mampu menggantikan fungsi pohon bambu yang telah ditebang tersebut dengan segera.

3.      Peran Multi Aktor dalam Pembentukan BCA (Bamboo Conservation Area)
            Dalam pelaksanaan suatu program kebijakan tentunya akan melibatkan beberapa aktor yang mendukung penerapan program kebijakan tersebut. Dalam skenario keterkaitan ini PERHUTANI dan masyarakat bertindak sebagai ujung tombak pelaksanaan program dimana masyarakat adalah aktor yang mengelola hutan Bambu. Masyarakat diberikan bibit Bambu secara gratis untuk ditanam di pekarangan atau tanah milik pribadi dengan syarat masing-masing harus mengelola bagian petak hutan Bambu milik PERHUTANI. Dari kontribusi masyarakat tersebut mereka diberikan lahan dihutan untuk dikerjakan dalam hal pertanian tanpa ditarik biaya sewa. Dengan adanya kerjasama antara keduabelah pihak ini akan terjadi timbal balik keuntungan. Masyarakat mendapatkan pengetahuan tentang pengelolaan budi daya Bambu, bibit Bambu secara gratis, serta lahan garapan pertanian. Dengan berbagai keuntungan ini, dalam jangka panjang masayarakat akan dapat membudidayakan Bambu secara mandiri dengan manajemen yang lebih modern. sedangkan bagi PERHUTANI keuntungan yang deperoleh adalah pemeliharaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat, profit dari hasil penjualan Bambu setelah siap panen. Selain masyarakat dan PERHUTANI peranan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pebisnis dan investor yang akan membantu dalam penanaman modal dan sebagai Customer dari produksi Bambu tersebut.
            Pihak akademisi bertindak sebagai pemberi bekal keterampilan pengelolaan budi daya Bambu. Dengan kerjasama yang dibangun oleh PERHUTANI ini pihak akademisi memiliki tanggung jawab sebagai mentor bagi masyarakat dan Koperasi serta berperan sebagai evaluator program.Disperindag memiliki peranan dalam hal dukungan untuk hal-hal teknis yang meliputi pengelolaan dan penjualan hasil budi daya, serta bertanggung jawab dalam hal berbagai sosialisasi hal-hal terkait. Seluruh program yang dicanangkan juga perlu tidak terlepas dari pemerintah daerah setempat karena pemerintah perlu membuat regulasi-regulasi yang mendukung program ini.

4.      Studi pada Wisata Hutan Bambu Desa Pelipuran Bangli Bali
            Objek agrowisata hutan bambu di Desa Penglipuran, Bangli, bagi wisatawan yang acap kali menikmati keindahan panorama Pulau Bali, akan mendapatkan pengalaman dalam nuansa yang berbeda jika anda merencanakan tour ke Bali dan singgah ke hutan bambu Penglipuran ini. Desa Pengelipuran selain memiliki daya pesona budaya yakni keunikan rumah warganya, juga memiliki daya tarik wisata yakni hamparan hutan bambu yang luasnya mencapai lebih dari 75 hektar. Hutan ini selain dimiliki warga desa adat juga menjadi salah satu objek wisata yang acapkali dikunjungi wisatawan baik yang ingin menyaksikan berbagai jenis bambu, maupun mereka yang hanya ingin sekedar menikmati suasana di tengah hutan bambu.
            Sebagai salah satu objek wisata yang memiliki prospek, Pemkab Bangli sejak awal mengembangkan Desa Penglipuran sebagai desa wisata dengan cara membangun sarana pendukung di sekitar hutan bambu ini. Meski kini keberadaannya perlu ditingkatkan, namun paling tidak wisatawan yang ingin berkunjung ke hutan bambu telah bisa melewati jalan setapak yang beraspal. Maklum areal hutan bambu ini merupakan areal jalan desa yang menghubungkan Penglipuran dengan desa-desa tetangganya. “Selain itu ruas jalan ini juga sengaja dibuat untuk mempermudah akses warga yang ingin panen bambu,” ucap Santika, salah seorang warga Desa Penglipuran.
            Suasana sunyi di tengah hutan, selain akan memberikan suasana tersendiri bagi wisatawan, juga akan makin mendekatkan wisatawan akan keindahan alam yang ada di hutan bambu Desa Penglipuran. Usai menikmati keindahan hutan bambu, wisatawan juga bisa menyaksikan perkebunan penduduk serta aktivitas pembuatan aneka bentuk anyaman bambu yang dikerjakan oleh warga Penglipuran. Kondisi ini tentunya akan menambah pengalaman wisatawan.
Nilai Ekologis dan Ekonomis
   Hutan Bambu ini dinilai memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Hal demikian tak bisa dilepaskan dari peran masyarakat sekitar untuk senantiasa menjaga kelestarian dan kealamian Hutan Bambu. Setiap warga sangat menaati peraturan bahwa pelestarian dan pembudidayaan Hutan Bambu menjadi tanggungjawab mereka karena diyakini merupakan titipan nenek moyang dan akan memberikan kemanfaatan bagi mereka.
    Hutan Bambu ini memiliki luas sekitar 45 hektar dan dijadikan sebagai daerah resapan air utama yang oleh karenanya maka memiliki nilai ekologis sangat tinggi. Warga atau siapapun yang berkunjung ke Hutan Bambu ini dilarang untuk menebang pohon bambu sembarangan dan diwajibkan melakukan tebang pilih pada hari-hari yang telah ditentukan supaya tidak terjadi kerusakan pohon bambu.
     Mayoritas masyarakat Bali yang beragama Hindu dengan landasan Tri Hita Karana, khususnya dalam konteks bidang Palemahan, menilai bahwa pohon bambu dalam kepentingan upacara-upacara kegamaan belum dapat digantikan. Sebab itu, setiap warga diwajibkan menaati peraturan supaya tak melakukan penebangan secara semena-mena, disamping juga tentunya tuntutan untuk menjaga kelestarian Hutan Bambu. Sementara berkaitan dengan program Pemerintah Bali, khususnya Kabupaten Bangli yang ingin mewujudkan Bali yang bersih dan hijau, maka jelas sekali eksistensi dan kelestarian Hutan Bambu sangat membantu dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Peran Hutan Bambu disini selain sebagai daerah resapan air, juga memiliki nilai ekonomis khususnya dalam mendukung berbagai acara keagamaan, maupun untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan kawasan Bangli. Sebagai contoh, bambu seringkali dimanfaatkan untuk atap rumah atau sirap di Desa Penglipuran, dimana rumah-rumah tersebut kemudian ditetapkan sebagai objek wisata yang tentunya akan menghasilkan pemasukan dari para pengunjung. Dengan mengunjungi Hutan Bambu para wisatawan selain bisa melihat dan menikmati keeksotisan berbagai jenis pohon bambu seperti Bambu Petung, Bambu Talang, juga secara otomatis akan disadarkan tentang betapa pentingnya menjaga dan melestarikan alam supaya tak terjadi kerusakan.
            Setelah mengetahui tentang kondisi hutan bambu Bangli, Bali maka hutan bambu tersebut berpotensi untuk dijadikan sebagai pilot project BCA tersebut. selain dapat berfungsi sebagai hutan wisata, hutan bambu tersebut juga mampu dijadikan sebagai penyerap emisi karbon, bahkan mampu menyerap karbon hingga 30% lebih banyak dibandingkan tanaman kayu lainnya, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sehingga, Bamboo Conservation Area akan menjadi upaya penerapan REDD+ yang optimal dengan melihat pada sejauh mana dampak yang bisa dicapai dalam proses pengurangan gas emisi karbon, jika dalam penerapannya telah menjalankan seluruh proses yang ada dalam pembentukan program BCA tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Wahyudin. 2008. “Lomba Tulis YPHL: Pelestarian Hutan Bambu Untuk Menanggulangi Illegal Loging dan Global Warming”. Melalui www.kabarindonesia.com [22/04/10]
Nurmatari. 2009. “Potensi Bambu Indonesia”. Melalui www.detik.com [22/04/10]
Suwani. 2008. “Nilai Ekonomis Bambu Belum Meningkat”. Melalui www.matabumi.com [21/04/10]
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global. Pemanasan Global. 13 Oktober 2008.
http://library.usu.ac.id/download//fp/hutan-ridwanti4/pdf. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. 22 Juli 2008.
http://www.pemanasanglobal.net/. Global Warming Mengancam Keselamatan Planet Bumi. 13 Oktober 2008.
Agung, P. (2010, Mei). Inisiasi Kebijakan, REDD di Indonesia; Menunggu Asa atau Masalah. Intip Hutan , hal. 14-15.
Anonim.2009.Hal-hal yang Sering Ditanyakan tentang REDD.Online: www.redd-indonesia.org.Diakses pada tanggal 30/11/11
Anonim.2009.UN-REDD. Online:www.norwegia.or.id Diakses pada tanggal:25/11/11
Anonim.2009. Peta Emisi. Online:www.bbc.co.uk. diakses pada tanggal: 21/11/11
Anonim.2011.Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa. Online:www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 30/11/11
Anonim.Penyebab Pemanasan Global pada Bumi.Online:www.alpensteel.com. Diakses pada tanggal:26/11/11
Firdausi, Nabila.Go Green:Pemanasan Global. www.panggilsayabella.wordpress.com. Diakses  pada tanggal:21/11/11
Hidayat, Wahyu. 2007. UNFCCC2007: Bali Roadmap http://majarimagazine.com/2007/12/unccc2007-bali-roadmap/. Diakses pada 4/12/11

Komentar

Postingan Populer