HIKMAH MAULID TAHUN INI
Angin malam
berhembus cukup kencang, udara malam ini lebih dingin dari biasanya. Aku
berjalan menyusuri tapak-tapak jalanan ditemani bayangan pohon dikiri dan
kanan. Malam ini, bulan bersinar terang, tidak seperti malam-malam biasanya. Aku
menatap langit, melihat bintang-bintang berkilauan menemani bulan. Disusul
dengan beberapa orang yang turut mengikuti langkahku menghabiskan jalanan
hingga berhenti di suatu titik. Mushola Darussalam, yang sudah dipenuhi
beberapa orang yang rapi duduk di terasnya. Inilah acara Maulid Nabi yang
diadakan RT ku.
Aku selalu
bersemangat di acara-acara seperti ini, karena aku tidak asing dengan ustad
yang menjadi favorit dari orang-orang RT-ku. Karena ustad favorit mereka adalah
Trainer yang biasa mengisis di acara-acara kampusku, seorang dokter, yang
pernah aku kenalkan pada mereka secara tidak langsung pada suatu acara
sebelumnya. Alhasil, ustad Arif selalu menjadi favorit dalam setiap acara-acara
di daerah rumahku. Begitu juga dengan acara Maulid Nabi Saw, yang diadakan
malam ini, dimana undangan telah menyebutkan bahwa Dr. Arif yang akan menjadi
penceramah di agenda malam ini. Namun sayangnya beliau tidak bisa hadir. Lalu
aku pulang. . . Eits, tunggu dulu, Sebenarnya tulisan ini bukan bertujuan untuk
curhat tentang kekecewaan menghadiri Maulid’an yang akan menghadirkan Ustad
Dr.Arif ternyata tidak hadir, dan diganti dengan ustad lainnya. Bukan itu, tapi
aku ingin menyampaikan kejadian menarik yang kualami malam itu.
Baiklah, Sebenarnya
aku tidak terlalu kecewa, karena sebelumnya memang aku sudah tau kalau Dr. Arif
mengisi materi di tempat lain, yang kebetulan aku pun terlibat didalamnya
sebagai tim. Nah, aku lanjutkan ceritaku ke keadaan ketika aku duduk
mendengarkan pembawa acara mulai membuka acara.
“Assallammu’alaikum.wr.wb, . .” salam diucapkan dan dimulailah acara peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. MC pun menyampaikan susunan acaranya, dan disebutkan acara
berikutnya adalah pembacaan sholawat.
Tepat di depan
tempat duduk kami sudah berjejer kumpulan orang-orang mengenakan baju putih,
sebagian membawa rebana, dan alat pukul lainnya. Sholawat pun dimulai, dengan
nyanyian dan pukulan rebana yang menggema di mushola tersebut.
Aku yang waktu
itu duduk persis disebelah sound, sangat merasa terganggu karena tempat dudukku
tersebut. Ketika kutengok ke sekeliling ruang, aku melihat ada wajah-wajah yang
begitu menikmati lalu turut bernyanyi, ada yang sebatas diam tak bergeming, ada
yang mengernyitkan dahinya. Yah, sekian lama dirumahku memang baru malam ini ‘Sholawatan’
tersebut disampaikan di acara seperti ini. Aku termasuk yang diam saja, lantas
mendengarkan dan berusaha memahami apa yang dilafalkan. Lantas, aku teringat
aku pernah membahasnya dengan kakakku baru-baru ini. Kita biasa menyebutnya
Diba’an, yang dalam bahasa Arab ternyata dikenal dengan nama Seni Barzanji.
Sebelumnya, kita
harus mengetahui asal usul seni ini terlebih dahulu, Kitab Barzanji
adalah buah karya Syekh Jafar Al Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766
M), seorang qadli (hakim) dari Mazhab Maliki yang bermukim di Madinah. Judul
asli kitab tersebut, 'Iqd al-Jawahir (untaian permata). Namun, nama Barzanji
(sang penulis--Red) lebih dikenal masyarakat Muslim ketimbang nama judul
kitabnya. Dan pengucapan kata 'barzanji' secara fasih agaknya cukup menyulitkan
lidah lokal Indonesia, sehingga kata tersebut teradaptasi menjadi berjanji.
Karya sastra al-Barzanji ini begitu masyhur di Tanah Air. Syekh Nawawi al-Bantani telah mensyarahi (menjabarkan) isi kitab tersebut dan diberi judul Madarijus Shu`ud ila Iktisa` al-Burud. Beberapa ahli bahasa Arab menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sastrawan WS Rendra pernah mementaskannya dalam Pagelaran Seni Teater Shalawat Barzanji beberapa tahun silam.
Karya sastra al-Barzanji ini begitu masyhur di Tanah Air. Syekh Nawawi al-Bantani telah mensyarahi (menjabarkan) isi kitab tersebut dan diberi judul Madarijus Shu`ud ila Iktisa` al-Burud. Beberapa ahli bahasa Arab menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sastrawan WS Rendra pernah mementaskannya dalam Pagelaran Seni Teater Shalawat Barzanji beberapa tahun silam.
Penulisan
Kitab Barzanji tidak lepas dari sejarah panjang konflik militer dan politik
antara umat Islam dan umat Kristen Barat dalam Perang Salib. Selama Perang
Salib berlangsung, Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M) sadar akan pentingnya
figur pemersatu yang diimajinasikan bersama. Dialah Rasulullah SAW. (http://mantankyainu.blogspot.com/)
Karena aku seringkali menghadapi berbagai
kontroversi terkait dengan hal ini, akhirnya akupun mencari berbagai informasi
lainnya tentang Barzanji, dan kontroversinya, aku dapati pemaparan berikut:
“Membaca
kitab Barzanji yang dilakukan pada berbagai keadaan adalah perbuatan bid’ah
yang tidak ada dalilnya. Melakukan bid’ah saja sudah mengerikan, karena membuat
syariat dalam agama yang Allah Azza wa Jalla telah sempurnakan. Hal ini kemudian di
tambah makin parah oleh maksud pembacaan barzanji yang dimaksudkan agar
mendapat keselamatan dan terhindar dari bahaya dan hal-hal yang tidak disukai.
Yang mana hal tersebut dimaksudkan dengan pembacaan kitab Barzanji, perbuatan
hamba atau dengan diri dan kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, yang
kesemuanya adalah kesyirikan.
Ayat-ayat
Al Qur’an yang telah jelas kemuliaannya serta sangat jelas keutamaannya, itupun
tidak boleh dikatakan bahwa membaca ayat-ayat itulah yang menyelamatkan. Tapi
harus diyakini bahwa Allah Azza wa Jalla-lah yang menyelamatkan disebabkan
karena pembacaan kita terhadap Al Qur’an adalah perbuatan yang Dia ridhai.
Tapi
membaca kitab yang penuh kesyirikan, bid’ah, keterangan-keterangan dusta yang
ditulis oleh orang yang tidak mengerti ilmu hadits yang kemudian dengan maksud
duniawi. Isinya hanya berisi sejarah tanpa dalil yang shahih, shalawat bid’ah
dan doa syirik tapi bersamaan dengan itu ada orang yang melakukan perjalanan ke
Baitullah untuk Haji kemudian diselamatkan oleh Allah Azza wa
Jalla, tapi bersamaan dengan itu dia berkata, “ini karena kita
telah melakukan barzanji.” Ucapan ini adalah ucapan syirik.
Syubhat Seputar Barzanji
1. Kami tidak
memaksudkan ini sebagai ibadah, kami hanya melaksanakan adat.
Bantahan:
1.
Membaca Barzanji bukanlah adat orang bugis, makassar, sunda, batak ataupun
madura. Nenek moyang bangsa ini nanti mengenal Barzanji sekitar abad ke-13
samapai abad ke-15 yaitu setelah islam masuk ke Indonesia. Yang benar adalah
bahwa ritual-ritual semacam ini adalah tradisi penyembah berhala, pohon, batu,
sungai dan sebagainya dari nenek moyang yang sebelum kedatangan islam
berkeyakinan Animisme. Ketika islam masuk mereka tetap melaksanakan tradisi
tersebut yang kemudian dibungkus dengan sesuatu yang menurut mereka bagian dari
islam.
2.
Jika barzanji tidak teranggap ibadah bahkan hanya sekedar tradisi, maka kenapa
kalian menganggapnya berpahala kalau melakukannya dan merasa bersalah/berdosa1
kalau meninggalkannya. Bahkan berkeyakinan dengan keyakinan syirik bahwa kalau
melakukan barzanji akan lebih selamat atau lebih beruntung dalam perdagangan
dan sebagainya.
3.
Kalian membaca Barzanji adalah untuk memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dan karena cinta kepada beliau. Dan cinta serta pemuliaan
terhadap Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah Ibadah yang sangat besar.
2. Sebenarnya
ini ada dalilnya, yaitu keutamaan shalawat, keutamaan mengambil pelajaran dari
kisah dan sirah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Masa tidak boleh bershalawat?
Bantahan
:
Pembahasan
tentang ini telah lewat. Kemudian keutamaan apa yang bisa digapai dari shalawat
bid’ah dan doa syirik. Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah-kisah tanpa
keterangan yang jelas bahkan sebagian besarnya adalah kedustaan atas nama Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Yang diperoleh bukan keutamaan dan
pelajaran tapi ancaman dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berupa
jahannam. Kemudian pendapat ini (bahwa ada dalilnya) bertentangan dengan
pendapat di atas yang mengatakan bahwa ini hanya sekedar adat dan bukan ibadah.
Dan
jika sekiranya ini ada dalilnya tentulah para sahabat telah melaksanakannya dan
akan sampai keterangannya kepada kita. Al Imam Said bin Jubair –seorang ulama
tabi’in- berkata, “apa yang tidak dikenal oleh Ahli (peserta perang Badr maka
itu bukan bagian dari agama.
3. Masa ini (red:
Barzanji) sesat padahal yang menganjurkannya adalah Kyai ini, Ustadz ini, Anre
Gurutta ini?
Bantahan
:
Yang
menentukan perkara agama ini dan menetapkan syariat itu Allah Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya atau para Kyai-kyai dan Anre Gurutta itu? Jika
sekiranya semua orang bisa menetapkan suatu aturan yang kemudian ditetapkan
sebagai aturan agama maka agama ini akan amburadul.“
Paparan
tersebut berasal dari (http://aboeshafiyyah.wordpress.com/2012/08/17/sesatkah-kitab-al-barzanji-sebagian-syubhat/)
Dalam buku Fikih Kontroversi yang
ditulis oleh K.H. Saiful Islam Mubarak membahas tentang dua perspektif, sikap
pro yang berlebihan tidak diperbolehkan karena Barzanji bukanlah rangkaian
ibadah yang diajarkan Rasulullah Saw. Disisi lain banyak orang yang kontra
dengan Barzanji, dikarenakan banyak hal yang lebih bermanfaat bisa dilakukan
daripada hanya mendengarkan seni Barzanji. Rasulullah Saw bersabda:
“Dari
Amr dari ayahnya dari kakeknya Rasulullah Saw. Bahwa beliau melarang: 1)
Bernasyid (menyanyikan) syair-syair di masjid, 2) membeli, 3) menjual, 4)
berkumpul melingkar pada hari jum’at sebelum shalat.”
K.H. Saiful Islam Mubarak
merangkum pembahasannya bahwa sebagai karya sastra, barzanji dapat disamakan
dengan karya Taufiq Ismail karena keduanya adalah karya sastra hasil sastrawan
Muslim. Jika kita menyanyikan Barzanji di masjid/mushola berarti kita termasuk
yang melanggar larangan Rasul. Rasulullah melarang menyanyikan syair di masjid.
Oleh karena buku Barzanji baru muncul setelah ratusan tahun Nabi wafat, isi
buku tersebut bukan riwayat dari Nabi. Karena itu, janganlah disebut rawi sebab mengantarkan karya tersebut
sebagai riwayat palsu yang mesti dijauhi kaum Muslimin. Seperti halnya karya
sastra lainnya, buku Barzanji banyak mengandung bentuk susunan kalimat yang
tidak biasa dipakai masyarakat umum, seperti metafora, personifikasi, ironi,
dan lainnya. (Mubarak, 2007)
Nah, aku pun sudah mendapat
jawaban. Maka bagiku, jika ini tentang ibadah, maka kembalikan semua pada Allah
dan Rasul-Nya. Namun, jika ini tentang seni yang bisa mendekatkan diri kita
pada Allah dan Rasul-Nya maka lebih baik dari musik-musik Barat yang dekat
dengan kemaksiatan, dengan catatan bahwa seni tersebut tidak mengandung
unsur-unsur kesyirikan sedikitpun. Terlebih lagi, tidak ada ceritanya
Rasulullah mengajarkan kebencian terhadap sesama, maka tentu bagi sesama Muslim
kita harus saling toleransi. Bagi penikmat Barzanji, dan bagi yang kontra
dengan Barzanji, bukan menjadi faktor permusuhan atau perdebatan. Karena banyak
tugas-tugas kita sebagai seorang Muslim yang menunggu untuk terus berjuang
menegakkan Din-Nya. Ingat kawan, karena sesama Muslim itu Saudara. Kita
tunjukkan pada dunia bahwa umat Rasulullah adalah umat yang penyayang antar
sesama,
Bersama meneladani Rasulullah Saw. ..
Afwan minkum, . .
Wallahu’alam
bish shawwab. . .
Amelia D’Marthasari
amelia-dmarthasari.blogspot.com
di Bumi Allah
27 Januari 2013
Referensi:
Al-Qur’anul
Kareem
Hadist
Rasulullah Saw
(http://mantankyainu.blogspot.com/)
(http://aboeshafiyyah.wordpress.com/2012/08/17/sesatkah-kitab-al-barzanji-sebagian-syubhat/)
Mubarak,
Saiful Islam. 2007. Fikih Kontroversi.
Bandung: Syaamil Cipta Media
Komentar
Posting Komentar