PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM ISLAM


            Musim-musimnya pemilihan, kita harus tau sejauh mana ISLAM memandang perempuan dalam menjadi partisipan politik. Agar lebih bijak memahami peran kita. Dr. Yusuf Qardhawiy menjelaskan: “Abu Hanifah memperbolehkannya jabatan peradilan dan politik bagi kaum perempuan dalam kesaksian yang dibenarkan syariat, yakni tidak menangani kasus-kasus kriminalitas. Sedang Imam Thabari dan Ibnu Hazm memperbolehkan perempuan menempati jabatan itu untuk berbagai kasus baik masalah harta, krimintalitas, maupun yang lainnya.
Kebolehannya ini tidak berarti wajib atau harus namun dilihat aspek kemaslahatannya bagi perempuan itu sendiri dan kemaslahatan bagi keluarga, masyarakat, dan Islam. Boleh sebuah kondisi menuntut diangkatnya sebagian perempuan tertentu pada usia tertentu dan pada kondisi-kondisi tertentu pula.
Perempuan dilarang menjadi Presiden atau sejenisnya karena perempuan – galibnya- tidak tahan menghadapi konflik, yang biasanya akan menjadi risiko pada jabatan ini. Saya katakan “galibnya”, karena ada saja perempuan yang justru lebih mampu dari pada lak-laki seperti Ratu Saba’ yang telah diceritakan dalam Al-Quran. Tetapi hukum tidak bisa berdasarkan pada kekecualian yang langka, melainkan harus berdasarkan pada sesuatu yang lazun berlaku. Oleh karena itu, ulama mengatakan “Yang Jarang Terjadi itu tidak bisa menjadi landasan hukum (an-naadir la hukma lah).” 
Mengenai keterlibatan wanita dalam perlemen Dr.Yusuf Qaradhawy dalam Fatwa Kontemporer-nya mengaitkan fatwanya dengan fungsi pengawasan pemerintah dan pembuatan undang-undang. Bila dikaitkan dengan pengawasan, ia mengambil sebuah riwayat dimana seorang wanita dapat menatahkan gagasan Umar di dalam masjid, lalu Umar menarik pendapatnya dan menerima pendapat wanita itu seraya berkata “Wanita itu benar dan Umar Keliru”. Dan beberapa contoh lain yang semisal. Beliau mengatakan :
“Selama masih menjadi hak wanita untuk memberi nasihat dan pandangan yang benar menurut pendapatnya serta menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar sertamengatakan “ini benar dan ini salah “ –dalam kapasitasnya sebagai pribdi – maka tidak terdapat dalil syara’ yang melarangnya menjadi anggota parlemen untuk melaksanakan tugas-tugas ini.”
Dalam permasalahan membuat undang-undang bagi dewan, Dr Yusuf Qardhawy justru mengatakan ijtihad dalam syariat islam itu senantiasa terbuka pintunya bagi laki-laki dan perempuan, maka dari itu perempuan pun bisa terlibat dalam hal ini. Beliau mengambil contoh Ummul Mu’minin Aisyah yang termasuk mujtahid dan mufti wanita dari kalangan sahabat, dimana beliau sering melakukan diskusi dan sanggahan terhadap sebagian sahabat sebagaimana yang direkam dalam kitab-kitab terkenal. Atau contoh lain yang beliau ambil adalah bagaimana kaum perempuan menginspirasi Umar untuk membuat ketentuan tentang tidak bolehnya suami yang menjadi tentara meninggalkan istri lebih dari enam bulan.
Dilihat dari pertimbangan di atas jelaslah bahwa wanita dapat saja berperan dalam bidang politik, baik dalam jabatan eksekutif, legistlatif, maupun yudikatif. Terutama bila ditemukan memang tidak ada laki-laki yang dapat menggantikannya. Kecuali pada kedudukan imamah uzhma seperti khalifah, atau presiden, dan sejenisnya.
Namun demikian ada beberapa hal yang harus dijaga oleh setiap perempuan ketika memasuki amanah di ranah publik / politik yang rentan akan terjadinya fitnah, hal ini terkait dengan betapa mulianya dan pentingnya kedudukan mereka bagi orang-orang tertentu seperti anak dan suaminya, begitu pula untuk menjaga kebaikan bagi diri mereka sendiri. Beberapa hal yang harus dijaga yakni, menjaga Fitrah dan tugas asasinya sebagai muslimah, serta menjaga adab-adab islami.
Wallahua’lam bis shawwab . . .

Mengambil peran untuk kemaslahatan.
_Amelia D.M_

Komentar

Postingan Populer