CERITA DEMOKRASI part 1 (Sejarah perkembangan demokrasi)


            Kita semua tau, segala hal yang menyangkut politik berhubungan erat dengan demokrasi. Tentunya kita paham bahwa Negara kita menganut sistem demokrasi ala Indonesia, kenapa saya sebut ala Indonesia, karena jelas demokrasi kita hanya ada di Indonesia, dengan berbagai fenomena demokrasi yang ada, wajah demokrasi yang penuh intriks, dan segala macamnya. Inilah demokrasi kawan, yang diagung-agungkan lebih banyak orang tentangnya. Lantas, tidakkah kita telisik lebih dalam tentangnya. Dari tugas yang pernah saya dapatkan, saya pun mencari lebih jauh sejenis apa sih demokrasi yang selalu diperbincangkan itu. Sebelum sampai pada taraf perbincangan lebih jauh tentang demokrasi, kita akan ulas tentang sejarah perkembangan demokrasi itu sendiri.
Berbicara tentang demokrasi, Demokrasi dibagi menjadi dua komponen, yaitu demokrasi Substansif dan demokrasi prosedural. Komponen pertama adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai-nilai dasar bagi suatu tatanan (sistem) kehidupan politik dan ketatanegaraan yang keberadaanya mutlak diperlukan serta membedakannya dengan sistem yang lain. Komponen kedua adalah seperangkat tata cara yang dipergunakan agar sistem tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks masyarakat tertentu. Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan permanen,  maka komponen kedua bersifat kontekstual dan bentuknya terus menerus mengalami perkembangan serta terbuka (open-ended). Menurut Affan Gafar, demokrasi prosedural memiliki beberapa unsur, yaitu  akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilu dan menikmati hak-hak dasar. Kendati kedua komponen tersebut tak dapat dipisahkan, namun kedua elemen tersebut dapat dibedakan satu dari yang lain.
Robert Dahl menyebutkan bahwa demokrasi memberikan jaminan kebebasan yang tak tertandingi oleh sistem politik manapun. Secara instrumental, demokrasi mendorong kebebasan melalui tiga cara. Pertama, pemilu yang bebas dan adil yang secara inheren mensyaratkan hak-hak politik tertentu untuk mengekspresikan pendapat, berorganisasi, oposisi serta hak-hak politik mendasar semacam ini tidak mungkin hadir tanpa pengakuan terhadap kebebasan sipil yang lebih luas. Kedua, demokrasi memaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri, setiap individu hidup di bawah aturan hukum yang dibuat oleh dirinya sendiri. Ketiga, demokrasi mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap warga negara membuat pilihan-pilihan normatif dan karenanya pada tingkat yang paling mendalam, demokrasi mendorong kemampuan untuk memerintah sendiri. Selain itu, dalam perkembangannya, demokrasi dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase klasik, fase pencerahan, fase modern, dan fase era kontemporer.
Fase Klasik
Ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah  prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
Fase Pencerahan 
Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M) yang mengemuka adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara. Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
Fase Modern 
Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20) menyaksikan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946).
Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau.
Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum borjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.
Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Fase Era Kontemporer
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kendatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun praktis. Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.


Mencoba belajar lebih jauh
Amelia D’Marthasari
17 Desember 2012

Komentar

Postingan Populer